Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 10)
Masih melanjutkan tentang persoalan sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan atau ibadah. Telah disebutkan bahwasanya sewa menyewa jasa untuk hal ketaatan terbagi menjadi tiga:
Pertama, jasa yang sifatnya khusus untuk ibadah mahdah.
Dan telah berlalu pembahasan poin pertama ini.
Kedua, jasa yang bentuknya muta’addi, yakni ibadah yang sifatnya sosial atau fardu kifayah.
Ketiga, jasa yang sifatnya tidak ada kaitan dengan amal ibadah.
Pada tulisan kali ini, pembahasan akan mengerucut pada poin kedua dan ketiga.
Jasa yang sifatnya muta’addi [1]
Maksudnya adalah sewa menyewa jasa secara khusus yang sifat ibadahnya adalah fardu kifayah atau dapat diwakilkan dan digantikan dengan orang lain. Seperti seseorang menyewa orang untuk mengumandangkan azan, menjadi imam, mengajarkan Al-Qur’an, mengajarkan hadis, dan lain sebagainya.
Pada permasalahan ini terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tentang hukum menerima upah dari sewa menyewa jasa yang sifatnya ibadah muta’addi atau fardu kifayah. Untuk mempermudah dalam memahami perbedaan ini, berikut adalah keadaaan-keadaan jasa yang sifatnya ibadah muta’addi.
Keadaan pertama: Harta dijadikan sebagai upah untuk jasa ibadah muta’addi
Pada keadaan pertama ini, seseorang menjadikan uang atau harga sebagai “alat tukar” dalam suatu ibadah. Dengan disyaratkan di awal akad, seperti suatu ungkapan, “Jika anda ingin saya azan di masjid anda, maka berikan saya uang sebesar sekian-sekian, saya akan datang untuk azan di sana.”
Istilah lainnya adalah menentukan tarif di awal sebagai upah dan syarat di awal. Hal ini tidak diperbolehkan. Karena ia menjadikan suatu ibadah sebagai alat tukar sehingga tidak lagi menjadi wasilah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa amalan itu tergantung dengan niatnya, dan Allah tidak menerima amalan, kecuali yang dilakukan ikhlas karena-Nya.
Keadaan kedua: Harta yang dikeluarkan adalah upah dari baitul mal
Dahulu, di negeri-negeri kaum muslimin terdapat baitul mal (tempat untuk menyimpan harta negara). Harta yang diambil dari jizyah (upeti), infak, sedekah, ghanimah (harta rampasan perang), dan lain sebagainya.
Artinya, baitul mal adalah milik negara dan bukan milik perseorangan, sehingga tentunya maslahat yang diperoleh harus kembali kepada kaum muslimin. Sehingga, dari sini para ulama membolehkan jika upah dalam jasa yang sifatnya ibadah muta’addi untuk diambilkan dari baitul mal.
Syekh Islam rahimahullah berkata,
وَالفُقَهَاءُ مُتَّفِقُونَ عَلَى الفَرْقِ بَيْنَ الاستِئْجَارِ عَلَى القُرُبِ وَبَيْنَ رَزْقِ أَهْلِهَا، فَرَزْقُ المقاتِلَةِ وَالقُضَاةِ وَالمُؤَذِّنِينَ وَالأَئِمَّةِ جَائِزٌ بِلا نِزَاعٍ، وَأَمَّا الاستِئْجَارُ فَلَا يَجُوزُ عِندَ أَكْثَرِهِمْ
“Para fuqaha (ulama) sepakat mengenai perbedaan antara menyewa untuk mendekatkan diri kepada Allah (isti’jar) dan rezeki (upah) bagi orang-orang yang berhak. Rezeki bagi para pejuang, hakim, muazin, dan imam adalah dibolehkan tanpa perselisihan, sementara menyewa mereka untuk tugas atau ibadah tertentu tidak diperbolehkan menurut sebagian besar ulama.” [2]
Keadaan ketiga: Upah yang diberikan berupa sayembara
Jika upah yang diberikan berupa sayembara, maka hukumnya boleh untuk diambil. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari ‘Abdullah bin ‘Abbas radiyallahu ‘anhu,
أَنَّ نَفَرًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرُّوا بِمَاءٍ فِيهِمْ لَدِيغٌ أَوْ سَلِيمٌ، فَعَرَضَ لَهُمْ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْمَاءِ فَقَالَ : هَلْ فِيكُمْ مِنْ رَاقٍ إِنَّ فِي الْمَاءِ رَجُلًا لَدِيغًا أَوْ سَلِيمًا، فَانْطَلَقَ رَجُلٌ مِنْهُمْ، فَقَرَأَ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ عَلَى شَاءٍ فَبَرَأَ، فَجَاءَ بِالشَّاءِ إِلَى أَصْحَابِهِ، فَكَرِهُوا ذَلِكَ وَقَالُوا : أَخَذْتَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، حَتَّى قَدِمُوا الْمَدِينَةَ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَخَذَ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ أَجْرًا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ أَجْرًا كِتَابُ اللَّهِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sumber mata air di mana terdapat orang yang tersengat binatang berbisa, lalu salah seorang yang bertempat tinggal di sumber mata air tersebut datang dan berkata,
‘Adakah di antara kalian seseorang yang pandai meruqyah? Karena di tempat tinggal dekat sumber mata air ada seseorang yang tersengat binatang berbisa.’
Lalu, salah seorang sahabat Nabi pergi ke tempat tersebut dan membacakan Al-Fatihah dengan upah seekor kambing. Ternyata orang yang tersengat tadi sembuh, maka sahabat tersebut membawa kambing itu kepada teman-temannya. Namun, teman-temannya tidak suka dengan hal itu, mereka berkata, ‘Kamu mengambil upah atas Kitabullah?’ Setelah mereka tiba di Madinah, mereka berkata,
‘Wahai Rasulullah, ia ini mengambil upah atas Kitabullah.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya upah yang paling berhak kalian ambil adalah upah karena (mengajarkan) Kitabullah.`”(HR. Bukhari)
Dalam hal ini, bentuknya adalah sayembara, dan sayembara lebih umum halnya dibandingkan dengan ijarah (sewa menyewa). Oleh karena itu, diperbolehkan terdapat ketidakjelasan pekerjaan dan waktu kerja pada sayembara. Sehingga dalam bentuk seperti ini, boleh untuk mengambil upah padanya.
Keadaan keempat: Jika harta yang diberikan dalam rangka upah bukan sebagai syarat
Artinya, harta tersebut bukanlah dalam rangka pemberian upah sebagai syarat di awal akad sebelum dilaksanakannya ibadah tersebut. Seperti memberikan orang yang mengajarkan Al-Qur’an berupa harta untuknya, tanpa pengajarnya mensyaratkan di awal. Hal ini diperbolehkan, sebagaimana contoh berikut,
فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي حَتَّى أَعْطَانِي مَرَّةً مَالًا فَقُلْتُ أَعْطِهِ أَفْقَرَ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْهُ فَتَمَوَّلْهُ وَتَصَدَّقْ بِهِ فَمَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَإِلَّا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ
“Rasulullah ﷺ biasa memberi saya pemberian. Lalu, saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Sampai pada suatu ketika, beliau memberi saya uang, lalu saya berkata, ‘Berikanlah kepada orang yang lebih membutuhkan dariku.’ Maka, Rasulullah ﷺ bersabda, ‘Ambillah, lalu gunakanlah untuk kepentinganmu dan bersedekahlah dengannya. Apa pun yang datang kepadamu dari harta ini, jika engkau tidak dalam keadaan sombong atau meminta-minta, maka ambillah. Jika tidak, maka jangan biarkan harta itu mengikuti hatimu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mengingat pada keadaan keempat ini bentuknya adalah seperti hadiah atau pemberian yang murni. Maka, boleh untuk diambil hadiah tersebut.
Pada keadaan-keadaan ini, para ulama rahimahumullah berselisih antara boleh atau tidaknya mengambil upah dari suatu ibadah yang muta’addi. Mazhab Hanafi dan Hanbali lebih condong berpendapat akan ketidakbolehannya. Adapun Mazhab Malik dan Syafi’i lebih condong akan membolehkannya. Masing-masing dari mazhab tersebut memiliki dalil sebagai sandaran kuat atas pendapat mereka. [3]
Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menengahkan akan kedua pendapat tersebut. Beliau mengatakan,
“Hendaknya dibedakan (perihal menerima upah dari ibadah muta’addi) antara orang yang membutuhkan dan tidak. Sebagai bentuk penggabungan antara dalil-dalil yang ada. Pendapat yang melarang untuk mengambilnya diartikan dengan jika tidak ada kebutuhan dan cukup. Sedangkan pendapat yang membolehkan diartikan jika memang membutuhkan dan tidak memiliki kecukupan.
Seseorang yang butuh jika memang butuh untuk mengambil, maka ia tetap harus meniatkan amalnya tersebut karena Allah, untuk menolongnya dalam rangka ibadah kepada Allah. Karena menafkahi keluarga juga hukumnya wajib, sehingga ia bisa menunaikan kewajiban dengan menerima upah tersebut.
Berbeda halnya jika memang sudah cukup dan kaya. Ia tidak butuh lagi tentunya dengan upah tersebut. Bisa dikatakan tidak ada keperluan yang mendesak untuk mengerjakan amalan selain ia kerjakan hanya untuk Allah. Bahkan, jika Allah telah mencukupkannya, dialah orang yang pertama kali harus melaksanakannya. Jika tidak ada yang melaksanakannya, maka menjadi wajib ‘ain bagi dia untuk melaksanakannya.” [4]
Jasa yang sifatnya tidak ada kaitan langsung dengan ibadah
Adapun poin ketiga ini, bentuknya adalah seperti suatu jasa yang tidak dikhususkan untuk melakukan ibadah. Di antara contohnya:
Pertama: Menyembelih sembelihan pada waktu Iduladha atau yang lainnya.
Kedua: Mengajarkan untuk menulis, berhitung, dan lain sebagainya. Jasa yang sifatnya terkadang sebagai bentuk ibadah terkadang tidak. Contoh yang lain seperti menanam pohon, membangun rumah, dan lain-lain. Hal ini diperbolehkan untuk mengambil atau memberikan upah pada pekerjaannya.
Ketiga: Memberikan upah kepada orang-orang yang membangun masjid, membersihkan, dan merapikannya.
Hal-hal ini diperbolehkan karena tidak ada kaitan langsung dengan ibadah seseorang. Wallahu A’lam.
[Bersambung]
***
Depok, 11 Sya’ban 1446/ 9 Februari 2024
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/103630-fikih-transaksi-ijarah-sewa-menyewa-bag-10.html